band name:burgerkill
genre:metalcore
locations:bandung
releas year:2011
Tracklist :
1. Into the tunnel
2. Age of versus
3. Under the scars
4.Through the shine
5. House of greed
6. This coldest heart
7. For victory
8. My worst enemy
9. Only the strong
click here to download
“
Ini sampelnya. Ini baru versi demo ya, materi aslinya sekarang lagi di-mixing di Bandung,”
tutur Ebenz sambil menyerahkan sekeping CD kepada saya. Perbincangan
itu terjadi ketika kami bertemu di sebuah apartemen di kawasan Seminyak,
sehari setelah kami nonton bareng konser Iron Maiden di Bali, Februari
2011 lalu. Kami lalu banyak berbincang soal persiapan album baru
Burgerkill di sela euforia konser Iron Maiden dan godaan obyek-obyek
wisata di Bali.
Sekeping cakram materi demo Burgerkill yang saya terima siang itu
masih berisi tiga lagu, yaitu “Under The Scars”, “Through The Shine” dan
“House of Greed”. Menurut pengakuan Ebenz, albumnya nanti bakal berisi
sekitar 10 lagu dan akan dirilis dalam dua versi. Versi pertama adalah
format CD tunggal biasa, dan versi kedua adalah format deluxe [double
disc] yang berisi CD album
Venomous plus sekeping DVD dokumenter perjalanan Burgerkill. “P
engennya sih mau kita rilis pas tanggal 20 April nanti, bertepatan dengan Hari Ganja Internasional. Doain ya!” ungkap Ebenz sambil tersenyum.
Sejak lima tahun yang lalu, “Venomous” sering disebut-sebut bakal
jadi album yang benar-benar baru – dengan kekuatan personil anyar pasca
meninggalnya sang vokalis kharismatik, Ivan Scumbag Firmansyah, yang
‘mewariskan’ album masterpiece berjudul
Beyond Coma and Despair di tahun 2006.
Mau tidak mau, perbandingan memang akan selalu ada dan masih
terbilang wajar. Sejak lama juga banyak fans mereka yang penasaran dan
bertanya-tanya bakal seperti apa konsep musik Burgerkill dibandingkan
dengan apa yang ada di album terakhir.
Dalam wawancaranya dengan saya dua tahun yang lalu, Ebenz sempat bercerita mengenai bakal albumnya nanti, “
Tidak
terlalu berbeda sih dengan album sebelumnya. Hanya sekarang kita
ngerasa jauh lebih ada progres hampir di semua lini. Banyak sekali
pengaruh-pengaruh baru yang ikut memberi kontribusi dalam struktur
materi baru Burgerkill. Band-band Eropa seperti Gojira, Hacride,
Meshuggah atau Lyxanzia banyak memberi ide-ide baru dalam memainkan
middle beat yang heavy. Sedangkan band-band Amerika old-school seperti
Megadeth, Slayer, Monstrosity, Canibal Corpse, Pantera, dan Anthrax juga
tetap menjadi pondasi penting yang ikut memberi banyak inspirasi dalam
penggarapan emosi lagu dan strukturnya.”
“
Sesi vokal kita banyak bereferensi pada Devin Townsend, Mark
Hunter, Bjorn Speed, dan lain-lain. Yang jelas dengan adanya Ramdan dan
Vicki sebagai striker baru di tim kami sangat terasa kontribusinya.
Ramdan datang dengan pengaruh Swedish-nya yang kental. Didukung oleh
Vicki yang cukup kuat di sesi distorsi dan clean vocal-nya bisa jadi
senjata baru buat kita bertempur di album berikutnya,” ungkapnya panjang-lebar.
Pernyataan Ebenz tadi diungkapkan dengan rasa optimis dan penuh
harapan. Referensi band dan musisi yang disebutkan pun bukanlah
nama-nama yang sembarangan. Komposisi metal yang dijanjikan juga
bukanlah hal sederhana yang main-main. Jika memang seperti itu janji
Burgerkill, tampaknya memang album ini patut ditunggu serta
diantisipasi.
Sekeping Demo dan Pelampiasan
Dua hingga tiga bulan kemudian, saya nanti-nanti tiada kabar juga
soal album baru Burgerkill. Malah ada selentingan bahwa album Ebenz dan
kawan-kawan terpaksa molor sekian lama. Saya kudu memaklumi, di tengah
kondisi industri musik Indonesia yang agak ‘ajaib’ ini keterlambatan
rilis adalah sesuatu hal yang biasa dan wajar.
Sementara itu, saya tampaknya musti berpuas diri dulu dengan
mendengarkan tiga lagu demo Burgerkill. Ketiganya sudah berputar
berulang-ulang dan menjadi penghuni setia folder musik di laptop saya
selama berminggu-minggu.
Dalam materi demo mereka, terdapat lagu “Under The Scars” yang sudah
sering saya dengar di beberapa show terakhir Burgerkill, dua tahun
belakangan ini. Sepertinya ini lagu pertama mereka bersama vokalis
Vicky, dan seolah menjadi penanda transisi pada konsep musikal
Burgerkill sepeninggal Ivan Scumbag. Secara garis besar, nuansa
musikalnya memang masih seperti di album
Beyond Coma and Despair.
Hanya saja, temanya ibarat statemen bahwa Burgerkill memang sempat
terluka, namun mereka baik-baik saja. Mencoba terus melawan, bahkan
menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
“You offer, to protect,
See my scars, see my scars,
You pretend, to protect,
See this fucking scars, this fucking scars!
I’m coming, We’re never alone, we never forget!”
Track berikutnya, “Through The Shine” juga masih menyimpan irama yang
khas ala “Under The Scars”. Cukup tipikal. Tampaknya masih ditulis
dalam emosi dan perasaan yang sama. Berbeda dengan lagu selanjutnya,
“House of Greed”, yang justru mengalun dalam tempo sedang dan cenderung
progresif. Tembang berdurasi hampir tujuh menit itu memiliki atmosfir
mengawang yang luar biasa.
Saat mendengarkan “House of Greed”, saya jadi ingat ungkapan Yayat
Achdiyat [produser Burgerkill] beberapa tahun lalu ketika kami
berbincang santai di sebuah penginapan, di kota Malang, “Saya dan
anak-anak BK sekarang lagi suka dengerin Gojira.” Nah, lagu “House of
Greed” ini mungkin salah satu buktinya. Terselip banyak nuansa teknikal
dan progresif ala Gojira di lagu tersebut, yang dengan sedikit kadar
kekaleman bahkan mungkin bisa mencapai level musik seperti Neurosis.
Bagi sebagian telinga, kualitas ketiga lagu di atas tadi sudah
terlampau bagus untuk disebut sekadar demo. Jika band lain, mungkin
sudah ada yang berani mengemas dan menjual lagu-lagu itu. Tapi saya
langsung sadar, ini Burgerkill. Salah satu band metal yang saya tahu
sangat cermat, ulet dan perfeksionis dalam segala hal – mulai soal show
sampai rekaman. Saya jadi tak sabar ingin segera mendengar bagaimana
hasil olahan si tangan midas, Yayat Achdiyat, ketika semua lagu sudah
100 persen beres.
“
Yayat itu sudah kami anggap personil ke-enam di Burgerkill.
Mungkin dia satu-satunya produser yang paham betul dengan kondisi dan
kebutuhan anak-anak semenjak album Dua Sisi sampai sekarang. Beliau
salah satu orang yang sangat kami tua-kan dan selalu kami mintai
pendapat apapun yang berhubungan dengan Burgerkill. Yayat itu sangat
fleksibel dengan cara kerja anak-anak. Namun di kondisi tertentu dia
juga sangat tegas dan perfeksionis di setiap pekerjaannya. Burgerkill
dengan Yayat itu ibarat Slayer dengan Rick Rubin, atau ibarat biji
dengan batangnya,” kata Ebenz tentang mantan gitaris Jasad yang sekarang fokus sebagai produser merangkap sound engineer Burgerkill itu.
Racun Itu Bernama Venomous
Seringkali, ketika mendapati lagu-lagu metal yang berdurasi lebih
dari lima menit, otak kanan saya langsung memberontak dan serta-merta
menuduh, “Ugh, ini pasti sesuatu yang teknikal dan progresif!”. Sama
halnya ketika saya akhirnya mendapatkan materi “Venomous” yang
dikirimkan oleh Burgerkill, pertengahan Juni lalu.
Sekedar catatan, akhirnya album mereka itu dirilis resmi di tengah pertunjukan
Bandung Berisik 5, 11 Juni 2011. Bisa dilihat, betapa cerdiknya mereka mengambil momen untuk promosi sekaligus jualan. Konon kabarnya bahkan
sold-out ketika dirilis pertama di festival musik metal tersebut.
Setelah diawali dengan intro berdurasi 75 detik, “Into The Tunnel”,
kuping saya langsung dihantam oleh “Age of Versus”. Menurut indera
pendengaran saya, ini adalah sebuah tembang yang mutlak berirama death
metal. Tanpa tawar-menawar. Lagu ini dibalut sound khas oldschool, yang
bahkan cukup mendekati karakter sound tipikal band-band Florida [USA]
yang notabene jadi salah satu ‘kiblat’ bagi scene death metal di era
90-an. Dugaan saya ini agak menemui kebenaran saat saya tiba-tiba
menemukan
part-part gitar yang mengingatkan pada Monstrosity.
Sedangkan mendengarkan “This Coldest Heart” di album ini rasanya sama seperti menemukan “To Live Is To Die” di album
And Justice For All
-nya Metallica. Maksud saya adalah satu track yang paling dingin, jika
tak mau dikatakan lembut. Sebuah instrumentalia yang syahdu dengan
petikan akustik dan atmosfir musik yang mampu mengarahkan telinga ke
sisi post-metal. Tembang nirkata ini menyajikan sebuah narasi yang
berisi empati mereka bagi korban perang dan bencana alam.
“Any debris that littered, leave the story for those who survived…
A for of empathy, for victims of wars and disasters around the world.”
Sayangnya, “For Victory” terdengar agak tanggung, meski penuh presisi
jika menyimak betapa rumitnya duel gitar Agung dan Ebenz yang sungguh
seru itu. Teknikal dalam level tinggi dengan sabetan riff gitar ala
Meshuggah, Atheist atau Cynic. Lirik lagu ini menyulut semangat untuk
terus berjuang dan melakukan perlawanan. Klimaks-nya terjadi pada koor
yang cukup anthemik di akhir lagu. Part seperti ini mungkin bisa
bergemuruh di atas panggung.
“We conquer as one,
We are built to blast! Take control and exterminate,
We are here to blast! Face to face, no turning back,
We are built to blast! Through the best or worst,
Together, forever, and ever. Explode!”
Habis Gelap Terbitlah Terang
“
Dari
awal kita sama sekali tidak terpikir untuk mencari karakter suara yang
sama dengan almarhum. Kita semua sadar betul bahwa setiap orang punya
karakter suara yang berbeda. Mungkin untuk wilayah Bandung sendiri Vicki
sudah bukan wajah baru, karena sebelumnya dia sempat bergabung dengan
Balcony, Savor of Filth dan terakhir di Heaven Fall,” begitu jawab
Ebenz ketika saya tanya bagaimana proses adaptasi vokalis baru mereka,
sesaat setelah Burgerkill menggamit Vicky sebagai vokalis dari hasil
audisi terbuka.
Nyatanya mereka memang tidak menoleh ke belakang, dan tetap menatap
lurus ke depan. Di sejumlah media, Ebenz bahkan berani sesumbar bahwa
Burgerkill hari ini bisa dibilang ibarat band yang benar-benar baru
terlahir kembali. Lima tahun belakangan paska album
Beyond Coma and Despair,
Burgerkill konon mulai menjalani pendekatan yang sama sekali berbeda
dalam berkarya – mulai dari proses penulisan musik, aransemen, hingga
sesi rekaman. Semuanya dilakukan dengan cara-cara baru, berkah dari
sebuah proses adaptasi serta pelajaran dari pengalaman mereka.
Selain bergantinya vokalis dan metode baru dalam berkarya, apalagi yang berbeda dengan Burgerkill dibanding sebelumnya?!
Well, yang paling terlihat jelas adalah bergesernya topik
dan tema lirik-lirik mereka. Dahulu, bersama Ivan Scumbag, lirik lagu
Burgerkill selalu berkisar pada tema-tema yang galau, depresif, sakit,
atau mengutuki diri sendiri. Bahkan semua lirik yang dibuat oleh Ivan
Scumbag di album
Beyond Coma and Despair hampir semuanya beraura gelap.
Saya pun jadi teringat penjelasan Ebenz soal tema lagu dalam sebuah kesempatan wawancara yang terdahulu. Dia pernah bilang, “
Untuk
tema-nya sekarang kita coba lebih bijaksana dalam pemilihan topik dan
bahasa yang digunakan. Namun kita tetap akan mengangkat hal-hal sekitar
interaksi personal dengan lingkungannya dalam sudut pandang yang lebih
luas. Jujur aja aku dan anak-anak punya sedikit trauma dengan
lirik-lirik tentang keputus-asaan dan kematian.
“Mengingat apa yang terjadi pada almarhum Ivan dengan lirik-lirik
yang dia buat ternyata banyak sekali yang mengindikasikan kisah akhir
dari hidupnya. Semenjak kejadian itu kita percaya bahwa sebuah ucapan
atau lirik itu adalah sebuah doa yang lambat laun akan ada
pembuktiannya, apapun itu bentuknya…”
Fase tema-tema gelap bagi Burgerkill sepertinya sudah usai. Kini
mulai berganti dengan topik seputar amarah, bangkit dan melawan. Kalimat
demi kalimat yang tertuang dalam setiap lirik di album
Venomous terbaca cukup mencerahkan dan penuh rasa optimis.
Ini memperkuat statemen bahwa Burgerkill hari ini tidak melemah,
justru semakin kuat daripada sebelumnya. Apalagi saat mengetahui bahwa
semua lirik sekarang kebanyakan ditulis oleh Ebenz, frontman Burgerkill
yang menurut saya memang adalah sosok yang selalu optimis dan tak mudah
menyerah.
Di samping itu, Ebenz juga mulai mencoba menulis lirik-lirik bertema
sosial seperti tentang perang, bencana, atau konflik kekerasan di tengah
masyarakat. Sedikit banyak, ini bukti bahwa Burgerkill semakin kritis
dalam memandang permasalahan hidup di sekitarnya. Jika ini sebuah
kebangkitan, maka adalah hal yang cukup masuk akal bagi mereka untuk
ikut ‘membakar’ pendengarnya lewat pesan-pesan yang lebih universal.
Eksplorasi Cadas yang Progresif nan Eksplosif
Kembali ke materi musik, rasanya “My Worst Enemy” adalah salah satu track yang paling kuat di album “Venomous”. Diawali dengan
part yang
menantang layaknya salah satu hits lama mereka, “Shadow of Sorrow”.
Saya duga, “My Worst Enemy” akan jadi jagoan baru di atas panggung
Burgerkill. Musiknya
powerful dan mampu menantang moshpit untuk terus bergerak.
Saat online tengah malam saya kebetulan menemukan beberapa fakta
tentang lagu “My Worst Enemy” melalui timeline Twitter milik Burgerkill.
Pertama, lagu ini lahir setelah drummer Andris sembuh dari musibah
patah tulang lengannya. Kedua, secara musikal lagu ini terinspirasi oleh
Megadeth, Van Halen, Porcupine Tree hingga The Cure. Ketiga, ide lirik
lagu ini muncul setelah melihat banyaknya kasus kekerasan di antara umat
beragama, yang jadi pernyataan sikap mereka dalam menentang premanisme.
Keempat dan yang agak menggelikan, sebelum liriknya dibuat, “Cucuk
Lancah” adalah judul awal dari lagu “My Worst Enemy”. Beberapa hari lalu
saya sempat menanyakan arti kata “Cucuk Lancah” kepada bassist Ramdan
melalui twitter-nya [@ProphetiaAeon], dia jawab itu bahasa Sunda yang
artinya “Duri Laba-Laba”. Akh, rasa penasaran saya terjawab sudah!...
Jelang akhir lagu “My Worst Enemy”, temponya yang keras tiba-tiba
langsung menurun drastis. Bagi sebagian orang, ini mungkin semacam
anti-klimaks. Tapi kalau saya cukup terhibur dengan bagian solo gitar
yang panjang dan manis ala Joe Satriani. Ini pasti ulah Agung, gitaris
mereka yang memang dikenal memiliki skill gitar yang cukup mumpuni.
Terus terang, saya suka bagian ‘dewa gitar’ tersebut.
Ibarat
medley yang halus dan rapih, “Only the Strong” seakan
menyambung tempo pelan yang ditinggalkan oleh track sebelumnya, “My
Worst Enemy”. Lagu ini menaikkan beat dan otomatis jadi lebih keras.
Saya awalnya sempat tidak sadar kalau ternyata sudah berganti lagu.
Nyatanya sudah ada “Only The Strong”, sebuah selebrasi keagungan musik
metal yang mengajak para pendengarnya untuk segera membentuk shaf
headbanging secara berjamaah. Ada beberapa part improvisasi yang cukup
jazzy di sektor gitar dan drum. Cantik.
Saya berpesan, jangan matikan dulu player CD anda. Sebab masih ada “An Elegy”, sebuah sajian
hidden track
yang [kembali] menampilkan aksi Fadly, vokalis Padi yang sudah
bersahabat baik sejak lama dengan Burgerkill. Jika kita ingat tembang
“…” [baca; Tiga Titik Hitam], maka tak perlu pikir panjang lagi dengan
“An Elegy”. Nuansanya memang masih sama. Sebuah track yang galau dan
mengawang dengan vokal khas Fadly yang serak-sengau. Plus balutan elemen
piano dan strings yang menambah megah atmosfir lagu ini. Track yang
didedikasi khusus untuk mendiang Ivan Scumbag Firmansyah dan Robin
Hutagaol ini bisa jadi funeral-song yang indah, namun juga perih.
“And I’m still here standing on this endless road,
Never had a chance to say thanks,
Never had a chance to say goodbye…”
Selamat Datang, Racun!
Jika ada yang menyebut musik Burgerkill masih berada di ranah genre
metalcore ala Chimaira, Unearth atau Lamb of God, maka alangkah
cerobohnya dia. Sebab menurut telinga saya dan kuping-kuping metal yang
terpercaya, Ebenz dan kawan-kawan sudah mulai menyentuh ranah prog-metal
dalam sabetan musik death metal yang eksplosif. Band lokal sebesar
Burgerkill memang sudah selayaknya berani bereksperimen dalam komposisi
musik, mengingat kemampuan mereka juga cukup mendukung untuk hal
tersebut. Meski harus diakui, ini adalah keputusan yang sangat berani
dan lumayan beresiko.
Mungkin sudah banyak kekaguman yang terlontar pada konsep musikal
Burgerkill hari ini. Dari komentar-komentar di jejaring sosial saja,
saya mendapati banyak sambutan hangat dari fans untuk album
Venomous ini.
Selain berhasil mendorong musik metal menjadi lebih tehnikal dan
progresif, setiap lagu di album ini juga bakal terdengar makin rumit dan
penuh variasi. Otomatis durasi lagu yang agak lama menjadi resikonya.
Tapi setidaknya hingga hari ini, saya belum mendengar ada fans yang
mengaku bosan berlama-lama dibuai oleh setiap jengkal irama di album
Venomous . Ini pasti racun, bukan?!
Namun sayang, sejujurnya di album ini saya belum menemukan reff-reff
yang berpotensi menjadi anthemik layaknya hits-hits klasik mereka,
“Sakit Jiwa”, “Penjara Batin” atau “Darah Hitam Kebencian” yang selalu
meraup koor masal. Ini pekerjaan rumah yang besar bagi Burgerkill;
bagaimana membikin penonton untuk bisa ikut bernyanyi di lagu-lagu anyar
mereka?! Mungkin sang vokalis Vicky punya trik khusus, kita lihat saja
nanti. Dia masih punya banyak kesempatan. Namun jika kita tidak sempat
bernyanyi, masih ada pilihan lain; mengibaskan kepala dalam gelombang
headbang yang maksimal atau diam tertegun menyimak padatnya skill bermusik mereka.
Selain itu, tampaknya sia-sia saja usaha saya [atau anda] untuk terus ngotot membandingkan antara
Beyond Coma and Despair dengan
Venomous. Itu sama halnya seperti membandingkan
Master of Puppets dengan
And Justice For All.
Yah jelas saja susah untuk ketemu, meski benang merahnya mungkin masih
sama. Sebab keduanya memang pemenang, dengan pendekatan yang berbeda, di
fasenya masing-masing.
Pada akhirnya, konsistensi dan kerja keras sudah membuktikan bahwa
band tidak akan pernah gagal dalam berkarya. Seberat apapun tantangan
dan cobaannya, Burgerkill sudah memilih untuk melangkah lebih maju dalam
bereksplorasi. Mereka semakin optimis dan bersemangat dalam menapaki
jalan barunya – yang tampaknya sedikit lebih cerah meski tetap memendam
amarah.
Venomous mungkin telah menciptakan kadar racun yang
berbahaya, namun pada kecapan yang tepat itu bisa jadi lebih manis
daripada jenis madu apapun yang pernah kita dengar dalam diskografi
musik metal di Indonesia. by:google.com